Sejarah Pemimpin wanita Aceh
Sejarah Samudra Pasai
dan Sulthonah Nahrasiyah
Kesultanan Pasai, juga
dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera
Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh,
Indonesia.
Belum begitu banyak
bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan
kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan
kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan
ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan
perak dengan tertera Nama Rajanya.
Proses awal berdirinya
Kerajaan Pasai
Kapan berdirinya
Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi
perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan
Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah
menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai
menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan
Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak
tahun 1297 Masehi.
Sejumlah ahli sejarah
dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda telah
beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan salah
satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan peneliti dari
Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll,
G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta
menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendiri nya. Nama Malik Al Salih
sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul
Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.
Kerajaan Samudra Pasai
berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir.
Pada tahun 1238 M, ia mendapat tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang
dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin
al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan
utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada.
Beliau kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar
Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297).
Keberadaan kerajaan ini
juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya
Abu Abdullah Muhammad ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke
negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan
Portugal pada tahun 1521. Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam
terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat
mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345
Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah
Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di
daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin
takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat
indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Asal-Usul Penamaan
Samudera Pasai
Nama lengkap Kesultanan
Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan Samudera
yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat
pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan
lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang
dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang
disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah
Pulau Perca.
Sedangkan para
pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”,
yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan tulisan-tulisan
I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang terkenal, menyebut
daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang
disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Kesultanan Samudera Pasai
merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang
lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Catatan tertulis yang
selama ini diyakini oleh para sejarawan untuk melacak sejarah Kesultanan
Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi Melayu yakni Hikayat Raja Pasai,
Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai memberikan andil
yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai,
meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan kebenarannya.
Mengenai nama
“Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba mengurai
asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah seperti yang
dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut bahwa kata “Pasai”
berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum pedagang yang datang dari
Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal “Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa
jadi berlaku, dengan catatan bahwa sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang
datang dari Persia sudah tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi
tempat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai.
Pendapat Moens mendapat
dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand, melalui
karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden Khersonese
(1961) yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan
data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang melakukan
perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun Paul Wheatley
sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan besar
di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka, telah ramai dikunjungi oleh
kaum musafir dan para saudagar yang berasal dari Asia Barat.
Disebutkan juga bahwa
pada setiap kota-kota dagang tersebut telah terdapat fondasi-fondasi atau
permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan menetap di
situ.
H. Mohammad Said,
seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti
dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang Kesultanan Samudera
Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa asal-muasal
penamaan “Pasai” berasal dari para pedagang Cina. Menurut Said, istilah “Po Se”
yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 Masehi, seperti yang terdapat
dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana dari Cina, identik dan
mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai”
Ada pula pendapat yang
menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”,yang artinya “tepi
laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang
berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk
dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah sinonim
dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh
dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang
lebih sama, yaitu “negara yang terletak di tepi laut”
Nama Samudera dan Pasai
sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang berhasil ditemukan, baik sumber
yang berasal dari luar maupun sumber-sumber lokal. Sumber-sumber dari luar
nusantara yang kerap menyebut keberadaan wilayah yang bernama Samudera dan
Pasai antara lain adalah laporan atau catatan perjalanan para musafir asal
Cina, Arab, India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah Samudera Pasai.
Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco Polo,
Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan
sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam kitab
Negara Kertagamakarya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai
abad ke-14 Masehi.
Ibnu Batutah, seorang
pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya mengatakan
bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang singgah di
Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah
negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah
menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di
negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai
secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.
Catatan pada Dinasti
Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan
Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di
bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan
dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan
dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari
India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai
permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol.
Informasi lain juga
menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon,
India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai memiliki
relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain
itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah
menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara.
Pencatat asal Portugis
yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires, menyebutkan
bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Sumatra, karena
tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama kota
tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat dengan
nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota
Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari
20.000 orang.
Marco Polo melaporkan,
pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan nusantara,
yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke Pasai pada
masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika
kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi
kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya
dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia
yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja
Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk
di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam), namun
komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah
cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco
Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau
“Jawa Minor”
Selain sumber-sumber
tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan lain yang
setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera
Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makam-makam
kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—bernama Deureuham
atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara,
Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri
Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera
pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau
bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan
belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.
Sumber-sumber tentang
asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana Barat yang
dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata berbeda
dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional pada
masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang
diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963, maupun dalam
seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh", yang
digelar pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri
oleh Prof Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said,
dan M.D. Mansoer, telah dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya
menelisik riwayat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai.
Berdasarkan sejumlah
petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah
lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil
Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja
Kerajaan Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan
Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433
Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi.
Mengenai lokasi
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usaha-usaha
penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan
oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai
terletak di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut G.P. Rouffaer,
salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang sejarah
Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula berada di
sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai.
Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini terhimpun menjadi satu dan kemudian dijadikan
tempat berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai.
Samudera, Pasai, dan
Pengaruh Mesir
Terdapat beberapa
pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang asal muasal
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah pendapat yang
mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari riwayat
kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis sebelumnya. Dalam buku berjudul
“Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”,
Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti
Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang
terdapat di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai
Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan Dinasti Fathimiah
mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai
perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.
Untuk memuluskan ambisi
itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi merebut Kota Kambayat
di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan menyerang daerah penghasil
lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi militer
untuk merebut daerah di Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan
jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu
juga. Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976 Masehi,
dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan
runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis
terputus.
Dalam sumber yang sama
disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai penguasa Kerajaan Samudera
adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204 Masehi kekuasaan Kerajaan
Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau We. Di bawah kendali
Laksamana Johan Jani yang merupakan peranakan India-Parsi, Kerajaan Pasai
bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim yang paling kuat di
Nusantara.
Di Mesir, muncul
dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu adalah
Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai dengan
1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai
perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal berdirinya, Dinasti Mamaluk
mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar agama Islam
di tanah suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari
Pantai Barat India.
Di Pasai, kedua utusan
ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota angkatan perang
Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad berhasil membujuk Marah Silu untuk
memeluk agama Islam. Selanjutnya, dengan bantuan Dinasti Mamaluk di Mesir,
mereka mendirikan Kerajaan Samudera sebagai tandingan bagi Kerajaan Pasai.
Marah Silu ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Baik Kerajaan Samudera
maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan menghadap ke
arah Selat Malaka.
Riwayat Samudera Pasai
dalam Hikayat
Versi lain tentang
riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari
sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam
Hikayat Raja Pasai. Menurut pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai,
kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih mula-mula bernama Kerajaan
Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang menyusul
kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula pemberian nama
kedua kerajaan ini terdapat cerita yang melatarbelakanginya.
Dalam Hikayat Raja
Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan Samudera bermula ketika Marah Silu
sedang berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika
mereka tiba di suatu tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba menyalak
keras karena bertemu dengan seekor semut merah yang berukuran besar. Marah Silu
kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas memakannya. Dari sini
timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru didirikannya dengan nama
Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya bisa diartikan sebagai “semut merah
yang besar”.
Sedangkan mengenai asal
mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada suatu hari, Marah Silu
yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al Salih setelah memimpin Kerajaan
Samudera, bersama para pengawalnya sedang melakukan kegiatan perburuan di mana
anjing sultan yang bernama Pasai itu pun ikut serta. Terjadi suatu kejadian
yang aneh ketika Pasai dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan seekor
pelanduk, kedua binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap dengan
akrabnya. Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk tersebut
lari ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam keheranannya,
Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah negeri di
tempat itu.
Setelah negeri tersebut
berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai, seperti nama anjing
kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya negeri baru tersebut. Anjing
itu sendiri kemudian mati di negeri baru tersebut. Sebagai wakil Sultan Malik
Al Salih yang tetap bersemayam di Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah putra
Sultan yang bernama Muhammad Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai.
Meskipun cukup banyak
peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai landasan sumber informasi
untuk menguak sejarah dan asal-usul Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak
sedikit pula yang meragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena hikayat
bukanlah suatu rangkaian catatan sejarah murni, melainkan banyak yang disisipi
dengan cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi, malah tidak jarang
kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai legitimasi
pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu.
Keraguan atas kebenaran
yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain seperti yang
dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat Raja Pasai
ternyata hanya sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku Ibrahim
Alfian yang karena kecewa terhadap Hikayat Raja Pasai dalam menyebutkan data
sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari sumber-sumber lain. Bahkan,
Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a chlidren
fairy story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak
kefatalanHikayat Raja Pasai sebagai sumber informasi terhadap sejarah. Data
tersebut menujukkan bahwa selama ini karya-karya tulis tersebut telah dilihat
dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis.
Perjalanan Eksistensi
Samudera Pasai
Sebelum memeluk agama
Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau Meurah Silo. “Meurah”
adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan derajatnya, sementara
“Silo” dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan
dari Suku Imam Empat atau yang sering disebut dengan Sukee Imuem Peuet, yakni
sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon
Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum
masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur yang mendirikan
kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah Maharaja
Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur,
Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan
(Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama
Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra
Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat Raja
Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya adalah
Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum.
Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya dan mulai
hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di wilayah Bieruen,
sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai Peusangan yang terletak tidak
jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan
Samudera.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih memeluk Islam
atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail dan Fakir
Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja Pasai
dengan memberikan catatan bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama Kerajaan
Samudera dan juga agar penduduk di kerajaan tersebut diislamkan oleh salah
seorang sahabat Nabi, dalam hal ini yang dimaksud adalah Syaikh Ismail. Dengan
adanya catatan dari hikayat ini, bukan tidak mungkin ajaran agama Islam sudah
masuk ke wilayah Aceh tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada
sekitar abad pertama tahun Hijriah, atau sekitar abad ke-7 atau ke-8 tahun
Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa
langsung dari Mekkah.
Data-data tentang Islam
di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat
pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang ditulis dalam
Hikayat Raja Pasai, Nabi Muhammad (Rasulullah) pulalah yang membawa Islam ke
Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara Marah Silu dengan
Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat Marah Silu dapat
membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah Rasulullah meludahi mulut Marah
Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat
peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai.
Dalam proses inilah Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi
dapat berjalan dengan lancar.
Ketika Malik Al Salih
dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan
dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan
pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini berarti, penobatan dilakukan secara
Arab, bukan dengan cara India. Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar
sudah memeluk agama Islam pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan
Samudera. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta
menjunjung dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat
Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada
raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.
Dalam rangkaian upacara
yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar, sebagai penasehat Sultan,
yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya. Aroma Islam semakin terasa ketika
kedua Orang Besar ini kemudian diberi gelar berkesan Arab, masing-masing dengan
nama Sayid Ali Khiatuddin untuk Tun Sri Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk Tun Sri
Baba Kaya.
Sultan Malik Al Salih
menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin bin
Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, Sultan Malik Al Salih
dikaruniai dua orang putra, yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad
dipercaya untuk memimpin Kerajaan Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir
(Sultan Malik Al Tahir), berdampingan dengan ayahandanya yang masih tegap
memimpin Kerajaan Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah,
memilih keluar dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan
mendirikan pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295.
Di bawah pimpinan
Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan. Ibnu
Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan Pasai pada era
pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu Batutah mencatat bahwa
tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan
bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya
mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi
dalam kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan
negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang
dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan
yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang dari
Jawa menukar beras dengan lada.
Ibnu Batutah
mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk
wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah
tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai.
Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi
dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat
mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat
kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan
menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota ini, tulis
Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan.
Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid.
Di dalam pagar yang
mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan
yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial di kota,
para pendatang baru dari desa, orang-orang asing, para pengrajin, dan segala
aktivitas urban lainnya ditempatkan di luar pagar di sekeliling pusat kota.
Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari
Istana Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.
Apabila penjelasan dari
Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa Kota Pasai
sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai, pada
tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana
Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi sebagai batas yang
membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas
perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.
Masih menurut catatan Ibnu
Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang memiliki
gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah juga
mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat
diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama
Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang
memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa
menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat
pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja
Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan
yang bijaksana.
Kesan Ibnu Batutah
terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam. Sebagai
raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh, pemurah,
rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah
menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak pernah
bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang sangat
mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid
untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan
biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu Batutah
menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan hati sang Sultan
tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Batuthah.
Di masa keemasannya,
Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para
pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan
Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai berdiri, yakni di kawasan
Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga yang sangat strategis. Pada saat
itu, kawasan Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi
lokasi transaksi dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi,
seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).
Di samping sebagai
pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan
agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara yang menganut
ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai yang berlokasi
di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah
kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Dalam
kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil
rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas
andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang
cukup besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya
seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Sultan Muhammad Malikul
Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena
sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan Sultan
Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena kedua putra Sultan
Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia. Oleh Sultan Malik Al Salih,
kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka dapat
dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan
kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid
Semayamuddin.
Ketika kedua pangeran
ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin pemerintahan, maka Sultan
Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari singgasananya yang meliputi dua
kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya, sesuai
dengan kesepakatan Orang-Orang Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi Sultan
Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan Samudera.
Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama
karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah Sultan
Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang tidak
lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan Mansur ditangkap
dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam perjalanan.
Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai singgasana Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan
Samudera Pasai.
Sejak tahun 1346,
kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul Mahmud
digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah
dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi
gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja
Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga
orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga
putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun
Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama
Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.
Sempat terjadi hal yang
sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang buruk.
Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua
anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap
yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja menimbulkan
kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah
putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
Tun Beraim Bapa sekuat
tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat. Merasa
ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan
kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran
yang seharusnya menjadi putra mahkota ini akhirnya tewas setelah memakan racun
yang diberikan utusan sang ayah. Tidak lama kemudian, kedua saudara perempuan
Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan racun yang sama.
Keganasan Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali berulah
biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan Majapahit,
Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina
karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja Majapahit
tersebut. Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai,
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya untuk
menghabisi nyawa Tun Abdul Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun
Abdul Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, oleh sebab rasa cinta yang
tidak tertahankan, Radin Galuh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai bersama para
pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil.
Sesampainya di Pasai,
rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati Radin Galuh
Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak kuasa
menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana jenazah
Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya. Sisa rombongan pengawal yang
mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera kembali ke Jawa dan melapor kepada
Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.
Sang Raja tentu saja
murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu, dan
kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap
menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada
perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan berhasil menduduki Pasai. Karena
semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat
bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri
Pasai.
Sementara itu, seusai
meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang Majapahit
mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil harta rampasan
dan tawanan perang dari Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa, laskar tentara
Majapahit terlebih dahulu singgah di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan
kedua negeri itu, sekaligus membawa barang jarahan yang semakin banyak.
Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Pasai
seperti yang dikisahkan dalam kitab Hikayat Raja Pasai.
Dalam silsilah para
penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata terdapat sultan
perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah
(Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang
lebih delapan tahun lamanya. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama
Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy
sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama
agar tidak mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya.
Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya
tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang
tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin
Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah Nahrasiyah
merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan
dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan
huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya yang
suci ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri
Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan
Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya.
Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.”
Keruntuhan dan
Peninggalan Peradaban Samudera Pasai
Kejayaan Kesultanan
Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di Jawa waktu
itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai mahapatihnya yang
paling legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode
1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara.
Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin
oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih
Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu
bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gadjah Mada
rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kesultanan Samudera
Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan
Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan
rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus
tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap
kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di
Aceh.
Ekspedisi Pamalayu
armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai
aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan awal yang
dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi itu
dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak
membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai
timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya
dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama
Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.
Selanjutnya, Gadjah
Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan
jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe
dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya
Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut
ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera
Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai
istana.
Selain alasan faktor
politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor
kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan
Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai
kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai
telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan
sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh
Majapahit di Selat Malaka.
Hingga menjelang abad
ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang
mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang
menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah
menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara
semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Namun kemudian, peranan
Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia
Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan
Malaka di Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam
bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah
Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri
perantau-perantau dari Jawa.
Akibat kemajuan pesat
yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama semakin
tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya
benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah
kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu.
Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera
Pasai.
Tidak hanya itu,
Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi
kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju.
Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan
Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor
kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh.
Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.
Jejak-jejak peninggalan
peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil ditemukan, pada 1913 dan 1915
oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J. de Vink, yang berinisiatif mengadakan
inventarisasi di bekas peninggalan Samudera Pasai. Selanjutnya, pada 1937 telah
dilakukan upaya pemugaran pada beberapa makam sultan-sultan Samudera Pasai oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian, tahun 1972, 1973, serta tahun
1976 peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang ditemukan di Kecamatan Samudera
Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, telah diinventarisasi
oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Perkembangan terbaru,
dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang terkait dengan
sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009, Tim Peneliti Sejarah
Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah menemukan makam Al Wazir Al
Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan Samudera Pasai.
Makam itu berlokasi di Desa Teupin Ara, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh
Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Al Wazir Al Afdhal
diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan rezim
Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al Abidin atau yang sering dikenal
juga dengan nama Sultan Zainal Abidin, yang memerintah selama dua periode,
yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524. Dari penemuan itu diperoleh keterangan
bahwa Al Wazir Al Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H atau 1518
M. Di tahun yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan makam Al
Wazir Al Afdal, terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan bahwa dunia
ini fana, tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair tersebut
sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang mengungkapkan
tenggelamnya peradaban Samudera Pasai.
Pada kesempatan
yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga menyatakan telah
menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan berusia 683 tahun. Stempel
kerajaan yang ditengarai milik Sultan Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua
Samudera Pasai, ini ditemukan tidak jauh dari makam Abdullah bin Muhammad, di
Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah bin
Muhammad (wafat 816 H/1414 M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah
Abbasiyah, Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para
pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu.
Stempel yang ditemukan
telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1 centimeter, dan
tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari lokasi ditemukannya di
Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah digunakan sampai dengan masa pemerintahan
pemimpin terakhir Samudera Pasai, Sultan Zainal Abidin.
Selanjutnya, pada Juni
2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI) Lhokseumawe
mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini sebagai tempat
persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima perang pada pemerintahan
Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung
Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H
atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa
pemerintahan beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada
masa Sultan Zainal Abidin.
Selain makam Raja
Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti
memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks
makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu.
Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs
sejarah Dinas Kebudayaan.
Terakhir, pada Agustus
2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe mengungkapkan bahwa
mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin, wafat tahun 923
Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan Moran yang
bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Fotografi naskah tersebut
dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya tersimpan di
Lisabon, Portugal.
Naskah tersebut
memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di awal abad
ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan Islam pertama
di Asia Tenggara ini, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511
Masehi. Naskah surat berbahasa Arab itu juga mencantumkan nama beberapa negeri
atau kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat
diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara
lain Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka).
Silsilah Raja-Raja
Berikut nama-nama
sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:
Sultan Malik Al-Salih
(1267—1297)
Sultan Muhammad Malikul
Zahir
Sultan Malikul Mahmud
Sultan Malikul Mansur
Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir (1346—1383)
Sultan Zain Al-Abidin
Malik Az-Zahir (1383—1405)
Sultanah Nahrasiyah
atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428)
Sultan Sholahuddin
(1402)
Sultan Abu Zaid Malik
Az-Zahir 1455)
Sultan Mahmud Malik
Az-Zahir (1455—1477)
Sultan Zain Al-Abidin
(1477—1500)
Sultan Abdullah Malik
Az-Zahir (1501—1513)
Sultan Zain Al-Abidin
(1513—1524)
Sultan Malik Al Salih
memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir
adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat,
pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk
sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni
Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan
Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan
Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang
dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya, Sultan
Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya tersebut,
masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan Samudera
kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan
Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur,
sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan mengenai
hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran
mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala
tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas
merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan.
Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing
sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya. Selain itu,
ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah
memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan
permasalahan lain karena belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas
mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
Wilayah Kekuasaan Pasai
Pada kurun abad ke-14,
nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal dan berpengaruh serta
memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada perang yang kuat sangat
mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk semakin melebarkan sayap
kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan menduduki wilayah kerajaan lain
ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam. Wilayah kekuasaan
Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di daerah yang diapit
oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai
Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi
Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba Jreum dan
Seumerlang (Perlak).
Sementara itu, ada pula
yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah
yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu
Ayer. Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi
sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran
Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh
Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil
meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi
negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang,
Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir
pantai di Jawa.
Sistem Pemerintahan
Komposisi masyarakat
yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang
berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan
Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada
lapisan yang paling bawah. Pada lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya
kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan
kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya orang-orang yang
bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang berniaga, orang berlayar,
orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati jumlah populasi orang-orang
Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak orang-orang dari India, namun
kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan
atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini terlihat sejak masa awal
terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan ini
berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan
Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan Pasai, terdapat
sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba
Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan
Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan Orang-Orang Besar
kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Orang
Kaya.
Kedua Orang Besar yang
ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu masing-masing
kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau Sultan Malik
Al Salih. Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu
disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan seorang
lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana
berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan cucunya
yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Di masa kedua cucu
Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi
sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan
yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud. Mengetahui
perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa
sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan
Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah
membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen
ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar
tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai
pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era kepemimpinan
yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383),
pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang perdana
menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha,
Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota. Masih sama seperti pada masa-masa
sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya sebagai
penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan kerajaan kendati keputusan
akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera Pasai. Kehidupan sosial dan
politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat diwarnai oleh unsur agama dan
kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam)
dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Sulthonah Nahrasiyah
Menyebut Kerajaan Samudera Pasai, tertera dua nama rajanya yang cukup
terkenal. Yakni, Raja Malikussaleh dan Malikudzahir. Hampir-hampir nama Ratu
Nahrasiyah tidak dikenal dalam sejarah. Padahal selama 20 tahun lebih ia
berkuasa dan dikenal sebagai ratu yang arif bijaksana. Makamnya pun begitu
megah, konon pada masanya merupakan makan terindah di Asia Tenggara
Di Lhokseumawe, Aceh
Utara, tepatnya di Gampong (desa) Kuta Krueng Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh
Utara 18 Km arah timur kota Lhokseumawe, terdapat kompleks makam kerajaan Samudera
Pasai (1267-1521). Kuta Krueng sendiri, sekitar satu kilometer dari kompleks
makam, dahulu kala merupakan pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Di dalam kompleks
terdapat 38 batu pusara, dengan makam utama Sultan Malikussaleh dan Sultan
Malikudzahir. Lain-lainnya adalah makam keluarga dan para pengawal kerajaan. Di
bagian lain, tak jauh dari makam Malikussaleh, tepatnya mendekati bibir pantai
Lhokseumawe, terdapat makam lainnya yang juga mencolok mata. Makam terlihat
megah. Terbuat dari batu pualam dengan ukiran-ukiran kaligrafi yang indah.
Kaligrafi (tulisan indah dalam bahasa Arab) itu berupa Surat Yasin yang cantik
terpahat pada nisannya. Di samping itu tercantum pula ayat kursi, Surat Ali
Imron ayat 18 dan 19, Surat Al Baqoroh ayat 285, 286 dan terpahat sebuah
penjelasan dalam aksara Arab. Arti aksara itu disebutkan Prof Dr Ibrahim Alfian
MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah
diterjemahkan :
“Inilah kubur wanita
yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan
dosanya Nahrasiyah… putri Sultan Zain al-Abidin putera Sultan Al Malikul Salih.
Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia
dengan rahmat Alloh pada hari Senin, 17 Dzulhijah 832 Hijriah.”
Ya, makam itu adalah
makam Ratu Nahrasiyah yang memerintah tahun 1405-1428 M. Sang Ratu adalah anak
dari Zainal Abidin Malikudzahir atau cucu dari Sultan Malikussaleh. Ia mangkat
pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 831 Hijriah atau 27 September 1428 M. Makamnya
terbuat dari batu pualam yang pada waktu itu terindah pahatannya di Pulau
Sumatera. Bahkan disebutkan Prof Dr T Ibrahim Alfian, MA, Prof Dr Christian
Snouck Hougronje dari Belanda yang meneliti kuburan sang ratu, telah menuliskan
di bukunya , “Arabie en Oost Indie” 1907, bahwa makan Ratu Nahrasiyah terindah
di Asia Tenggara.
Dalam buku itu Snouck
juga menuliskan, makam tersebut meruakan duplikat dari makam Umar Ibn Akhmad
al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M.
Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga
dipakai pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa
Timur.
Mengenai makam
tersebut, warga sekitar melihat beberapa kelebihannya. Terutama ketika terjadi
tsunami melanda Aceh. Gelombang tsunami memorak-porandakan pagar kompleks
pemakaman. Namun makam sang ratu tidak rusak sama sekali. Gelombang air
menerjang diatasnya, hanya menyisakan lumpur dan pasir di bawahnya.
Siapakah sejatinya ratu
dari Kesultanan Samudera Pasai ini ?
Mengangkat Harkat
Perempuan
Sulthonah Nahrasiyah
adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan
tahun 1405-1428 M. Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin
Malikudzahir yang mangkat pada tahun 1405. Ada juga versi yang menyebutkan
kalau Nahrasiyah adalah janda sang raja yang mangkat, Zainal Abidin, lalu ia
dinobatkan sebagai penggantinya.
Sekilas tentang
kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, diceritakan
didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malikussaleh. Ia wafat
pada tahun 699 H atau 1297 M. Setelah beberapa kali pergantian Sultan, antara
tahun 1345-1350 kesultanan diserang Majapahit, Sultan Pasai melarikan diri dari
ibu kota kerajaan. Sejak itu Kesultanan Pasai mati suri.
Kesultanan kembali
bangkit di bawah pimpinan Sultan Zainal Abiddin Malikudzahir tahun 1383 M. Ia
memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik China “Ying-yai sheng-lan,” Sultan
Zainal Abidin dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia
tewas oleh raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan pasai dilanjutkan
oleh putrinya –versi lain menyebutkan istrinya –Sultanah Nahrasiyah.
Prof Dr T Ibrahim
Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak, memerintah dengan
sifak keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu
mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya.
Nahrasiyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428 M.
Ibrahim Alfian menjelaskan,
selain jejak sejarah berupa nisan, keterangan tentang Ratu Nahrasiyah juga
terdapat dalam sejarah Cina di atas. Buku itu sebenarnya berisi laporan umum
mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Namun juga menyebut tentang raja
yang berkuasa pada saat itu. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim dalam
pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing, ia
dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Pada tahun 1415 Cheng
Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming
(1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua
Ratu, bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho.
Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh
sebagian penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau
Sumatera. Sekandar kemudian di tangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana
maharaja Cina. Disana Sekandar dijatui hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian,
ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah,
putri Sultan Zainal Abidin atau yang disebut literature Cina sebagai
Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
Tak Tertera Dalam Koin
Emas
Sayangnya sangat
sedikit bukti tentang kebesaran sang ratu. Bahkan namanya tak ditemukan tertera
di mata uang emas yang pada zaman Kerajaan Pasai menjadi kebiasaan untuk
mengabadikan nama sang sultan di mata uang emas yang pada masa itu disebut
dirham. Dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak
ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literature numismatic mata uang
emas kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal itu,
Ibrahim Alfian mengatakan, mungkin karena Ratu Narasiyah setelah suaminya
syahid, lalu menikah dengan suami yang kedua bernama Salahuddin, sama-sama
memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sehingga nama suaminya yang bergelar Sulthan
al Adillah yang diterakan di mata uang emas di bagian sisi belakang. Karena
pada masa Ratu Nahrasiyah, dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab
nama ayahnya, “Zainal Abidin Malikudzahir” dan dibagian belakang tertulis, “As
Sulthan al Adil”.
Salahuddin sendiri
tidak memakai gelar Malikudzahir karena ia bukan keturunan dinasti
Malikudzahir. Karenannya gelarnya diterakan pada sisi belakang dirham, bukan di
bagian depan sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham
Salahuddin dengan kualitas emas 17 karat. Sedangkan dirham Sultan Zainal Abidin
kualitas emas 18 karat.
Mengapa koin emas atas
nama sang ratu tidak ada, menjadi pertanyaan hingga saat ini. Mengingat
makamnya yang megah dan indah, tentulah ia seorang pemimpin yang agung.
Tentulah banyak keberhasilan yang telah ditorehnya. Sayang, catatan tentang
sang ratu sangat minim. Yang paling mungkin adalah, karena Sultanah menikah
lagi, sehingga tampuk kekuasaan banyak dipimpin suaminya, Salahuddin.
Sang Sultanah telah
membuat kaum perempuan saat itu ikut maju. Bisa belajar agama dan menjadi
penyiar-penyiar agama sebagaimana yang ditulis Ibrohim Alfian.
Dikutip dari
Sumber
http://wiyonggoputih.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-samudra-pasai-dan-sulthonah.html
0 komentar: